Penerapan Pengelolaan Lada Terstandar Untuk Mempertahankan Eksistensi Muntok White Pepper
Pendahuluan
Nusantara dikenal sejak lama sebagai surga rempah-rempah, termasuk lada. yang yang merupakan King of Spices. Pada saat ini, Indonesia penghasil lada nomor dua setelah Vietnam dan pernah menadi penghasil lada utama dunia. Luas perkebunan lada Indonesia pada tahun 2012 seluas 193.854 ha dengan produksi 89.27 ton. Produktivitas lada Indonesia rendah yaitu hanya 72 kg/ha. Angka ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan Vietnam yang mencapai 3.183 kg ha-1 (Dirjenbun, 2021). Pada hal potensi hasil dari varietas yang digunakan oleh petani di sentra produksi lada tinggi. Menurut Nuryani dan Zaubin (2009) potensi hasil dari varietas lada yang digunakan oleh petani bisa mencapai 2.000 – 4.000 kg ha-1.
Sentra produksi lada di Indonesia berada di provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Lampung. Luas pertanaman lada di Bangka Belitung paa tahun 2020 52.192 ha dengan produksi 32.520 ton sedangkan Lampung memiliki luas 45.834 ha dengan produksi 15.412 ton. Bangka Belitung sebagai penghasil lada putih di pasar dunia dengan trade mark Munthok White Pepper dan Lampung penghasil lada hitam dikenal dengan Lampung Black Pepper. Lada putih Bangka Belitung memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan daerah lain. Terkait dengan hal tersebut Kementerian Hukum dan Hak Azazi Manusia pada tahun 2010 telah menerbitkan sertifikat indikasi geografis (IG) lada putih Bangka Belitung.
Kehadiran IG Muntok White Pepper (MWP) adalah salah satu modal penting dalam mendukung pengembangan lada di Bangka Belitung. IG MWP menjadikan lada putih Bangka Belitung lebih kompetitif di pasar dunia, melindungi kualitas dan melindungi konsumen terhadap kualitas barang yang dikonsumsi. Dampak lain dari IG MWP juga dapat megembangkan kegiatan UMKM terkait dengan prodksi barang yang berbahan baku lada putih. Beberapa faktor lain yang mendukung pengembangan lada di Bangka Beitung yaitu pasar,belum ada bahan substitusi lada. Permintaan lada di pasar domistik dan luar negeri masih cukup besar seiring dengan perkembangan industri pangan dan obat-obatan.
Selain faktor pendukung tersebut tedapat kendala yang hadapi dalam pengembangan lada di Bangka Belitung seperti degradasi kesuburan lahan dan serangan hama penyakit yang endemik, persaingan penggunaan fungsi lahan antar komoditas, dan fluktuasi harga. Degradasi kesuburan lahan dan serangan hama penyakit terkait dengan intensitas penggunaan per satuan luas lahan yang tinggi, pengelolaan kebun yang kurang baik dan aktivitas penambangan timah di lahan yang subur. Persaingan antar komoditas terutama kelapa sawit dan karet yang mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dengan perawatan yang kurang intensif. Sebagai komoditas ekspor harga lada ditingkat petani tergantung kondisi harga di pasar dunia. Pada saat harga lada tinggi, luas kebun dan produksi lebih tinggi atau dapat dinyatakan berbanding lurus antara harga dengan luas dan produksi. Selain itu lada termasuk komoditas yang membutuhkan investasi cukup besar, perawatan yang intensif dan berproduksi setelah berumur tiga tahun setelah tanam. Persoalan ini diungkapkan oleh Syam (2014) yang menginventarisir permasalahan kegiatan budidaya lada di Bangka Belitung yaitu:(a) pengelolaan usahatani di tingkat petani belum optimal sehingga penerapan teknologi budidya lada masih kurang mendukung bagi peningkatan hasil yang memadai, (b) harga berfluktuatif dan harga sarana produksi(pupuk dan pestisida) relatif mahal, (c) serangan organisme pengganggu tanaman lada yang epidemik, (d) kualitas hasil belum memenuhi standar, (e) informasi pemasaran hasil terbatas dan kelembagaan petani masih lemah, (f) sumberdaya petani baik masih lemah. Nurasa (2011) menambahkan bahwa produktivitas lada yang rendahdisebabkan oleh penggunaan bibit berkualitas rendah, dan pemupukan kurang tepat baik jenis maupun dosis.
Bertolak dari kondisi diatas jika dibiarkan terus menerus maka eksistensi Muntok White Pepper sebagai komoditas unggulan dan identitas Bangka Belitung sulit untuk dipertahankan di masa mendatang.Perlu adanya langkah strategis dalam rangka mengokohkan eksistensi Muntok White Pepper pada semua aspek dengan melibatkan seluruh elemen yang terkait sehingga bermuara kepada stabilitas produksi dan perbaikan kesejahteraan masyarakat khususnya petani.
Status dan Akselerasi Inovasi Teknologi
Perubahan iklim, konversi dan degradasi lahan usaha tani, lemahnya daya saing produk pertanian di pasar domestik dan internasional karena rendahnya mutu dan tidak efisiennya sistem produksi menjadi ancaman keberlanjutan produksi pertanian nasional. Perkembangan hama dan penyakit tanaman dalam beberapa tahun terakhir juga tidak terlepas dari dampak perubahan iklim. Di sisi lain, kehidupan terus berjalan yang menuntut tersedianyapangan dalam jumlah yang cukup sepanjang tahun (Anonimous, 2014). Menurut Yudiyanto et al. (2014) bahwa diantara beberapa faktor lingkungan, curuh hujan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi produktivitas tanaman lada.Degradasi kesuburan lahan dan alih fungsi lahan pertanian turut berkontribusi terhadap instabilitas produksi pertanian.
Faktor produksi yang dimiliki dalam pengembangan industri lada di Indonesia terdiri dari faktor dasar yaitu (1) ketersediaan benih, (2) ketersediaan lahandengan persyataran klimatisasi yang sesuai, (3) ketersediaan tenaga kerja, (4) ketersediaan capital,sedangkan faktor kondisilanjutan terdiri dari: (1) Ketersediaan teknologi, (2) Kapabilitas pelaku sebagai akumulasi pengalaman, dan (3) ketersediaan infrastruktur(Ardana, 2014). Menurut Hermanto et al. (2010) bahwa strategi on farm yang dilakukan dalam meningkatkan produktivitas dan penghasilan petani meliputi; (1) mengembalikan kondisi pertanaman lada yang ada saat ini menjadi kondisi minimal yang masih dapat berproduksi dan mampu memberi kontribusi dalam pendapatan petani, (2) menanam tanaman yang secara genetik berpotensi tinggi produktivitasnya, khususnya pada lahan-lahan/kebun amat sesuai dan sesuai, (3) melakukan penyertaan kegiatan agribisnis lainnya yang masih berkaitan dengan pemanfaatan lahan tanaman lada, seperti menyertakan ternak dan tanaman pagar yang dapat memberi tambahan pendapatan petani dan (4) mengendalikan hama dan penyakit dengan melaksanakan sistem budidaya yang baik dan benar.
kehadiran inovasi teknologi dalam proses produksi pertanian menjadi keharusan (Suryana, 2007). Lebih lanjut dikatakan tanpa adanya inovasi teknologi secara terus menerus, pembangunan pertanian akan terhambat. Lakitan (2016) menyebutkan paling tidak ada tiga tantangan besar yang membutuhkan inovasi pertanian, yakni 1) tantangan untuk meningkatkan produksi pangan dan komoditas pertanian lainnya (tantangan agronomis); 2) tantangan untuk menurunkan kehilangan hasil pada fase pascapanen (tantangan pascapanen); dan 3) tantangan untuk memenuhi kebutuhan konsumen/penduduk yang terus tumbuh (tantangan demografis).
Inovasi teknologi pertanian dapat dibedakan berdasarkan jenis, bentuk, dan dampaknya. Berdasarkan jenisnya, inovasi terdiri dari inovasi mekanik (pengolahan), inovasi biologi (varietas benih baru), inovasi kimia (pupuk dan pestisida), inovasi agronomi (praktek manajemen baru),inovasi bioteknologi, dan inovasi informasi yang mengandalkan terutama pada teknologi komputer. Berdasarkan bentuknya, inovasi terdiri dari inovasi proses dan inovasi produk. Inovasi juga dapat dibedakan berdasarkan dampaknya terhadap pelaku ekonomi dan pasar yaitu peningkatan hasil, penurunan biaya, peningkatan kualitas, pengurangan risiko, kelestarian lingkungan,dan perbaikan kehidupan (Sunding, 2000).
Inovasi teknologi pertanian bertujuan untuk efeisiensi dan efektivitas dalam berusha tani dengan hasil yang optimal dan mutu yang baik. Inovasi teknologi yang menjadi bagian hasil riset harus sesuai dengan kebutuhan petani agar dapat diadopsi (Heryanto dan Supyandi, 2012). Berbagai hasil riset terkait dengan tanaman lada mulai dari inovasi hulu hingga hilir sudah dihasilkan dan dimanfaatkan oleh petani. Inovasi teknologi budidaya lada seperti dijelaskan oleh Suprapto dan Surachman (2008) yaitu teknologi budidaya lada sehat denganpendekatan ekologis mencakup: (1) Teknologi budidaya lada sehat ramah lingkungan, (2) Pembuatan pupuk kompos, (3) Budidaya lada integrasi ternak kambing sebagai sumber pupuk kandang dan (4) Tumpang sari (intercroping) kopi robusta diantara tanaman lada. Rakitan komponen teknologi budidaya lada sehat ramah lingkungan terdiri atas (a) Konservasi kebun dengan penutup tanah/penyiangan terbatas (bebokor), (b) Pengendalian cara mekanis, (c) Penggunakan bibit lada sehat dari varietas unggul, (d) Pemupukan organik dan inorganik,(e) Aplikasi agensia hayati (Trichoderma spp, B. Bassiana) (f) Penggunakan tajar hidup,(g) Pemangkasan tajar lada, (h) Drainase kebun dan (i) Pemagaran kebunlada. Hasil penerapan teknologi budidaya lada sehat ramah lingkungan menunjukkanteknologi tidak merusak lingkungan, dapat mempertahankan kesuburan lahan,meningkatkan keragaan agronomis tanaman lada, mampu menekan serangan hamadan penyakit serta dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani.
Aplikasi paket teknologi tersebut dapat disesuaikan dengan pendekatan kondisi lingkungan dan budaya petani setempat. Di antara unsur-unsur penentu paket teknologi budidaya lada ramah lingkungan adalah pemupukan, dan pengendalian hama penyakit. Optimasi penggunaan lahan menjadi bagian terpenting untuk memberi nilai tambah bagi petani mengingat hasil lada baru dapat dinikmati pada tahun ketiga setelah penanaman. Komponen paket teknologi budidaya lada ramah lingkungan yaitu penggunaan tiang panjat hidup, manajemen hara dan pengendalian hama penyakit merupakan komponen teknologi yang harus dikembangkan di Bangka Belitung.Irawati et al. (2009) menyebutkan bahwa teknologi budidaya lada ramah lingkungan dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas tanaman lada.
Lada termasuk salah satu spesies yang memiliki banyak varietas. Di Indonesia memiliki sekitar 92 aksesi namun jauh lebih rendah dibandingkan India yang memiliki 2.257 aksesi. Namun dari jumlah tersebut hanya 7 aksesi yang banyak digunakan oleh petani karena produktivitasnya lebih tinggi yaitu petaling 1, petaling 2, natar 1, natar 2 lampung daun kecil (LDK), chunuk dan bengkayang. Di sentra produksi lada Indonesia seperti di Bangka Belitung varietas yang banyak digunakan adalah petaling 1, petaling 2, LDK dan Chunuk, Lampung adalah Natar 1 dan Natar 2 dan Kalimantan barat adalah bengkayang. Keragaan masing-masing varietas tersebut seperti ditunjukkan Tabel 1 dan 2 (Nuryani, 1996; Nuryani dan Zaubin, 2006).
Pertumbuhan dan hasil tanaman lada menggunakan tiang panjat mati cenderung lebih baik dibandingkan dengan tiang panjat hidup. Tiang panjat mati tidak menimbulkan kompetisi antara tanaman lada dan tiang panjat(Zaubin dan Yufdi, 1996; Dinesh et al., 2005). Namun kondisi ini tidak dapat dipertahankan lagi mengingat ketersediaan tiang panjat mati dari kayu berkualitas baik sudah sangat terbatas dan mahal, sedangkan penggunaan kayu tiang panjat berkualitas rendah mudah roboh sehingga merusak tanaman. Menurut Ardana (2014) masa produksi lada tiang panjat mati hanya 3 tahun, dengan produktivitas optimum minimal 1 ton per hektar.Penggunaan tiang panjat mati non kayu seperti beton atau pun paralon membutuhkan investasi besar dan tidak dapat diadopsi oleh semua lapisan petani lada.
Penggunaan tiang hidup seperti Erythrina fusca Lour, Gliricidia maculata, dan Ceiba pentandra sudah dikenal dan digunakan di tempat asal tanaman lada, india, semua pertanaman lada menggunakan tiang panjat hidup. Di Indonesia penggunaan tiang panjat hidup dilakukan oleh petani lada di Lampung (Wahid, 2006; Sadanandan; 2006; Daras dan Rusli, 2009). Jenis tiang panjat hidup untuk tanaman lada sebaiknya memiliki sifat-sifat : tidak mudah mati, akar lekat lada dapat melekat baik, efek kompetisi seperti hara, air, CO2 dan alelopati kecil, pertumbuhan cepat dan tahan pangkas, bukan inang hama penyaki dan tahan terhadap serangn hama penyakit, perakaran dalam dan dari famili leguminosae. Meminimalkan efek kompetisi dilakukan melalui pengaturan jarak tanam, strategi pemupukan dan pemangkasan tiang panjat 3 – 4 kali dalam setahun.Hasil pangkasan dapat menjadi pupuk hijau bagi tanaman lada (Wahid dan Yufdi, 1989; Zaubin, 1992; Dinesh et al., 2005).Dinesh et al. (2010) menyatakan penggunaan tiang panjat hidup Gliricidia sepium (Jacq) lebih dianjurkan sebagai tiang panjat lada yang dapat meningkatkan kualitas tanah.
Pupuk dan serangan organisme pengganggu tanaman adalah faktor pembatas pertumbuhan dan hasil tanaman lada paling dominan.Intensitas penggunaan satuan luas lahan yang tinggi dan manajemen usaha tani kurang baik mendorong terjadinya degradasi hara tanah. Sivaraman et al. (1999) menyatakan bahwa komposisi hara tanah yang ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman lada mengandung : 0,26% N; 0,25% P2O5; 0,41% K2O; 0,18% MgO dan 0,5% CaO. Menurut laporan Daras et al. (2012) berdasarkan hasil analisis jaringan daun banyak kebun lada di Bangka Belitung menunjukkan gejala defisiensi hara. Lebih lanjut dijelaskan status hara esensial yang dimaksud yaitu nitrogen (N) dikategori sedang, fosfor (P) sedang, kalium (K) rendah hingga tinggi, kalsium (Ca) rendah dan magnesium (Mg) rendah hingga tinggi. Waard (1969) menyebutkan tanaman lada yang sehat mengandung 3,10 – 3,40% N, 0,16 – 0,18% P2O5, 3,40 – 4,30% K2O, 1,66 – 1,68% CaO dan 0,44 – 0,45% MgO dari bahan kering. Untuk menghasilkan 1 kg lada hitam membutuhkan 32 g N, 5 g P2O5, 28 g K2O, 8 g CaO dan 3 g MgO (Waard, 1964). Ravindran (2000) menyebutkan nutrisi yang diserap oleh masing-masing varietas dan organ tanaman lada berbeda-beda (Tabel 4).Secara kumulatif tanaman lada dewasa menyerap 293,08 kg N, 46,41 kg P, 264,96 kg K, 35,4 kg Mg dan 74,82 Ca per hektar(Ann, 2012).
Sebagian besar tanah di Bangka Belitung berjenis podsolik merah kuning (ultisol) dan tekstur liat berpasir (Wahid, 2006). Jenis tanah ultisol dan pola pemupukan yang dilakukan oleh petani menyebabkan tanaman lada di Bangka Belitung rentan dengan defisiensi hara seperti yang dilaporkan Daras et al. (2012). Tanah Ultisol memilik ciri-ciri : pH rendah, kejenuhan Al tinggi dan kemungkinan Fe dan Mn aktif tinggi, daya semat terhadap fosfat kuat, kejenuhan basa rendah, kadar hara (terutama P, K, Cad an Mg) dan bahan organik rendah, daya simpan air terbatas, jeluk efektif terbatas, derajad agresi rendah dan kemantapan agregat lemah (peka terhadap erosi) (Notohadiprawiro, 2006;). Zu et al. (2014) menyebutkan pH rendah menghambat perkembangan dan fungsi akar tanaman lada akibat serapan K, Cad an Mg terbatas.Perlu upaya khusus untuk memperbaiki sifat negatif tanah ultisol melalui manajemen sistem budidaya agar tanaman lada mampu tumbuh dan berproduksi secara optimal. Pengapuran, penggunanaan bahan organik dan pemupukan P dan K dengan dosis yang tepat mampu memperbaiki pertumbuhan dan hasil tanaman di tanah ultisol (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Sebagian besar tanah di Bangka Belitung berjenis podsolik merah kuning (ultisol) dan tekstur liat berpasir (Wahid, 2006). Jenis tanah ultisol dan pola pemupukan yang dilakukan oleh petani menyebabkan tanaman lada di Bangka Belitung rentan dengan defisiensi hara seperti yang dilaporkan Daras et al. (2012). Tanah Ultisol memilik ciri-ciri : pH rendah, kejenuhan Al tinggi dan kemungkinan Fe dan Mn aktif tinggi, daya semat terhadap fosfat kuat, kejenuhan basa rendah, kadar hara (terutama P, K, Cad an Mg) dan bahan organik rendah, daya simpan air terbatas, jeluk efektif terbatas, derajad agresi rendah dan kemantapan agregat lemah (peka terhadap erosi) (Notohadiprawiro, 2006;). Zu et al. (2014) menyebutkan pH rendah menghambat perkembangan dan fungsi akar tanaman lada akibat serapan K, Cad an Mg terbatas.Perlu upaya khusus untuk memperbaiki sifat negatif tanah ultisol melalui manajemen sistem budidaya agar tanaman lada mampu tumbuh dan berproduksi secara optimal. Pengapuran, penggunanaan bahan organik dan pemupukan P dan K dengan dosis yang tepat mampu memperbaiki pertumbuhan dan hasil tanaman di tanah ultisol (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Optimasi pertumbuhan dan hasil lada memerlukan manajemen hara yang baik.Menurut Wahid (1996) dan Ann (2012) tanaman lada merupakan tanaman responsif terhadap pemupukan (rakus hara).Kebutuhan hara tanaman lada dipengaruhi oleh varietas, umur, kondisi agroekologi, status nutrisi tanah.serangan penyakit dan manajemen pengelolaan kebun (Sadanandan, 2006; Ann, 2012). Di Brazil rekomendasi pemupukan lada mengikuti sebuah skema yang sudah ditetapkan berdasarkan status nutrisi tanah yang disebut dengan metode DRIS (Diagnosis and Recommendation Integrated System) (Parthasarathy, 2007).Sebelumnya Sadanandan et al. (1996) telah menyusun metode DRIS berdasarkan status hara di daun agar pemupukan lebih efesiens dengan hasil yang optimum.
Pada tanaman lada berproduksi di Bangka Belitung Wahid et al. (1987) menganjurkan pemupukan sebesar 2.400 g per tanaman NPKMg (12:12:17:2). Mengingat kondisi di lapangan ketersediaan pupuk NPKMg dengan formula tersebut sulit untuk diperoleh sebagai alternative Daras et al. (2012) menganjurkan penggunaan pupuk NPK (15:15:15 atau 12:8:20) sebesar 1.800 g per pohon. Di Malaysia Ann (2012) menganjurkan pemupukan tanaman lada berumur 3 tahun (tanaman berproduksi) sebesar 390-62-352-47-100 kg per hektar N-P-K-Mg-Ca dan dikombinasikan dengan pupuk organik memberikan pertumbuhan dan hasil terbaik serta menjaga kualitas tanah (Tabel 6). Penggunaan mikroba rhizosfer dapat membantu serapan N, P, dan K tanaman lada (Herman et al., 2012).Rekomendasi pemupukan anjuran oleh Wahid et al. (1987) dan Daras et al. (2012) untuk tanaman lada yang menggunakan tiang panjat mati sedangkan pemupukan lada tiang panjat hidup belum ada.
Dalam kegiatan budidaya tanaman, serangan organisme pengganggu tanaman hampir dipastikan terjadi, demikian pula pada budidaya lada. Kegagalan dalam budidaya lada di Bangka Belitung selain manajemen hara yang kurang baik juga akibat serangan hama penyakit. Penyakit utama lada yaitu busuk pangkal batang disebabkan oleh Phytophthora capsici, penyakit kuning oleh nematoda dan penyakit kerdil oleh mikoplasma.Hama utama yang menyerang tanaman lada adalah penggerek batang dan pengisap buah lada. Pengendalian melalui sistem kultur teknis, penggunaan agensi hayati dan biopestisida sangat dianjurkan dalam meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh hama penyakit tersebut (Manohara dan Kasim, 1996; Mustika; 1996; Mustika dan Manohara; 1996; Soetopo dan Suprapto; 1996; Wikardi dan Asnawi; 196). Laba dan Trisawa (2006) menambahkan bahwa pengendalian hama lada melalui pengelolaanekosistem adalah dengan cara memanipulasilingkungan yang menguntungkan musuh alamiyaitu penyiangan terbatas, menanam varietastoleran, penanaman tanaman penutup tanah,tumpang sari, dan tidak menyemprot insektisidasintetik harus dilakukan.
Tujuan akhir dari inovasi teknologi adalah perbaikan kesejahteraan petani. Dalam konteks budidaya lada, perbaikan kesejahteraan tidak hanya fokus pada hasil tanaman utama (lada) dalam satu satuan luas lahan yang dikelola. Sebagai tanaman tahunan petani memiliki peluang untuk mengotimasi lahan pertanaman lada dengan menaman tanaman lain melalui system tumpangsari. Hal ini dinyatakan oleh Dwiwarni et al., (1994)dan Syakir (2008) bahwa peningkatanpemanfaatan lahan dapat ditempuh dengan cara :(1) meningkatkan populasi tanaman per satuanluas, (2) meningkatkan tanaman per satuan tiangpanjat, (3) meningkatkan tinggi tajar, (4) menanamtanaman sela, dan (5) kombinasi dari ketiga caratersebut di atas
Wahid(1992) mengemukakan bahwa aspek penting yangharus dipertimbangkan dalam teknik budidayapolatanam adalah kompatibilitas antara tanamanpokok dengan tanaman sela yang meliputi : (1)tidak ada pengaruh yang saling merugikan di dalampemanfaatan cahaya, hara, air, dan CO2, (2) tidakmemiliki hama dan penyakit yang sama, dan (3)sedapat mungkin memiliki pengaruh yang salingmenguntungkan dalam memenuhi kebutuhan haradan menekan serangan hama dan penyakit.
Pertanian Bioindustri Berbasis Lada
Bioindustri mengacu pada semua aktivitas pertanian dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) maju tanpa limbah, memanfaaatkan dan mengolah limbah/biomasa, memakai sumberdaya hayati lainnya untuk menghasilkan bahan pangan dan non pangan bernilai tinggi untuk pembangunan pertanian secara berkelanjutan. Prinsip dasar pertanian bioindustri adalah pertanian minimum limbah, minimum imported input dan energi, pertanian pengolah biomasa dan limbah menjadi bio-produk baru bernilai tinggi, terpadu ramah lingkungan dan sebagai kilang biologi (biorefinery) berbasis iptek maju (Forum Komunikasi Profesor Riset, 2014). Hendriadi (2013) mendefinisikan sistem pertanian bioindustri adalah sistem pertanian yang mengelola dan/atau memanfaatkan secara optimal seluruh sumberdaya hayati termasuk biomasa dan/atau limbah organik pertanian bagi kesejahteraan masyarakat dalam suatu ekosistem secara harmonis.Menurut Haryono (2013) bahwa pertanian bioindustri sebagai upaya untuk menghasilkan produk pertanian yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi melalui proses pengolahan yang menggunakan teknologi industri. Penerapan pertanian bioindustri akan meningkatkan daya saing produk dan diversifikasi produk sehingga berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan petani.
Menurut Simatupang (2014) pertanian bioindustri mempunyai ciri-ciri: 1). Usaha pertanian berbasis ekosistem intensif memaksimumkan pendapatan dan nilai tambah melalui rekayasa ekologis (sinergi dan keseimbangan biosistem dan siklus bio-geo-kimiawi), 2). Pengolahan seluruh hasil pertanian dengan konsep whole biomas biorefinery, 3) Integrasi usaha pertanian-biodigester-biorefinery:mengurangi ketergantungan energy, mengurangi penggunaan input eksternal, mengurangi limbah: ramah lingkungan, dan mengurangi kebocoran hara dari agroekosistem.
Berdasarkan potensi sumberdaya yang tersedia dalam kegiatan budidaya lada, model pertanian bioindustri berbasis lada dapat berwujud pola integrasi dengan ternak terutama ternak kambing.Suprapto dan Surachman(2008) menyebutkan pola integrasi budidaya lada – ternak terpadu yang ramah lingkungan harus didukung oleh beberapa komponen teknologi, yaitu: (a) penggunaan bibit lada bermutu, (b) konservasi dengan penyiangan terbatas (bobokor), (c) penggunaan tiang panjat hidup (Gliricidia sp.), (d) pemangkasan tiang panjat, dan (e) pemupukan dengan kompos kotoran sapi dan pangkasan).Model integrasi tanaman lada dengan ternak kambing dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan penghasilan petani (Suryanto dan Suroso, 2004; Sahara et al., 2016)
Dalam sistem pertanian bioindustri berbasis lada dan ternak.kebun lada menyediakan hijauan pakan ternak yang berasal dari pangkasan tiang panjat hidup dan hijauan yang tumbuh di lorong tanaman lada dapat berupa cover crop seperti Arachis pintoi, rumput pakan ternak atau serai wangi. Serai wangi menghasilkan minyak atsiri sekaligus limbah sulingan sebagai sumber pakan ternak.Produk lada putih didiversifikasi menjadi berbagai produk seperti lada bubuk, minyak atsiri, lada hijau dan berbagai jenis makanan yang menggunakan tambahan lada. Pada ternak dapat dihasilkan produk berupa dagaing, susu, limbah cair dan limbah padat yang telah diolah dan biogas. Ada pun skema dari kegiatan pertanian bioindustri berbasis lada dan ternak seperti terlihat pada gambar 1 (Anonimous c, 2015). Melalui sistem pertanian bioindustri petani diharapkan mendapat nilai tambah penghasilan dan meminimalkan biaya produksi lada.
Sistem Kelembagaan Terintegrasi
Orientasi pembangunan pertanian di Indonesia saat ini telah mengarah pada sistem agribisnis. Pada sisi lain terdapat kompleksitas masalah yang dihadapi oleh petani yang tidak hanya terkait dengan produktivitas yang rendah namun infrastruktur terbatas, aksesibilitas rendah terhadap modal, teknologi, informasi, dan pasar, serta rendahnya kapasitas petani. Salah satu upaya meningkatkan produktivitas, efisiensi usahatani, dan daya saing petani dilakukan melalui pengembangan kelembagaan pertanian (Anantanyu, 2011). Senada dengan Sesbany (2016) bahwa upaya yang harus dilakukan petani untuk menaikkan posisi tawar petani melalui : a). konsolidasi petani dalam satu wadah kelembagaan untuk menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran; b). kolektifikasi produksi, yaitu perencanaan produksi secara kolektif untuk menentukan pola, jenis, kuantitas dan siklus produksi secara kolektif; dan c). kolektifikasi dalam pemasaran produk pertanian.
Dalam membangun pertanian dan kelembagaan pertanian terdapat beberapa kendala yaitu :1. masih minimnya wawasan dan pengetahuan petani terhadap masalah manajemenproduksi maupun jaringan pemasaran, 2. belum terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis, aktivitas petanimasih terfokus pada kegiatan produksi (on farm), 3. peran dan fungsi kelembagaan petani sebagai wadah organisasi petani belumberjalan secara optimal (Dimyati, 2007).
Keberadaan kelembagaan petani didasarkan atas kerjasama yang dapat dilakukan oleh petani dalam mengelola sumberdaya pertanian, antara lain: (a) pemprosesan (processing), agar lebih cepat, efisien dan murah; (b) pemasaran (marketing), akan meyakinkan pembeli atas kualitas dan meningkatkan posisi tawar petani; (c) pembelian(buying), agar mendapatkan harga lebih murah;(d) pemakaian alat-alat pertanian (machinesharing), akan menurunkan biaya atas pembelianalat tersebut; (e) kerjasama pelayanan (cooperativeservices), untuk menyediakan pelayanan untuk kepentingan bersama sehingga meningkatkan kesejahteraan anggota; (f) bank kerjasama (co-operative bank); (g) kerjasama usahatani (co-operative farming), akan diperoleh keuntungan lebih tinggi dan keseragaman produk yang dihasilkan; dan (h) kerjasa multitujuan(multi-purpose co-operatives), yangdikembangkan sesuai minat yang sama dar ipetani (Anantanyu, 2011).
Pada kegiatan agribisnis lada putih di Bangka Belitung sistem kelembagaan yang menudkung sudah lebih dari cukup, mulai dari kelompok tani/gapoktan, penyuluhan, pemasaran/permodalan (BP3L/koperasi lada/UMKM), Mengacu pada sistem agribisnis kakao, menurut Arimbawa (2013) setidak-setidaknya memiliki kelembagaan: kelompok tani, penyuluhan, pembiayaan dan pemasaran. Kelembagaan kelompok tani adalah kelmpok tani yang hanya focus pada agribisnis lada bukan multi komoditas. Kelompok tani memiliki fungsi strategis dalam menghantarkan kesuksesan anggotanya dalam mengelola bisnis lada. Kemajuan kelompok tani memerlukan campur tangan dari lembaga penyuluhan. Kelembagaan penyuluh yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi seluruh kelembagaan penyuluh baik pemerintah, swasta maupun swadaya. Peran kelembagaan pembiayaan tidak kalah penting dalam menyangga permodalan aktivitas agribisnis.Kelembagaan pembiayaan dapat berupa dukungan perbankkan, koperasi atau pun lembaga permodalan mikro yang dibentuk oleh para petani itu sendiri. Fluktuasi harga atau pun lemahnya posisi tawar petani terhadap produk pertanian merupakan masalah kelasikal yang dihadapi petani di Indonesia. Ketika musim panen serenta, produk melimpah maka hukum pasar berlaku, harga yang diterima petani rendah mengakibatkan keuntungan yang diperoleh kecil bahkan merugi.
Terlibatnya lembaga pemasaran dalam pergerakan produk dari produsen kepada konsumen menghasilkan marjin pemasaran.Marjin terjadi karena adanya biaya-biaya pemasaran (pengumpulan,pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, dan lain-lain) dan keuntungan lembaga pemasaran yangakhirnya menjadi faktor yang mempengaruhi pembentukan harga (Tomek dan Robinson, 1987).Hanafi dan Saefudin (1983), menjelaskan bahwa lembaga pemasaran adalah badan-badan yang bertanggung jawab menyelenggarakan kegiatan atau fungsi pemasaran dimana barang harus bergerak dari produsen sampai ke konsumen.Tugas lembaga pemasaran adalah menjalankan fungsi-fungsi pemasaran serta memenuhi keingainan konsumen semaksimal mungkin.Harga lada yang berfluktuasi 10 tahunan membawa ancaman tersendiri bagi petani lada. Fluktuasi harga yang tinggi selama 20 tahun terakhir terutama periode 1999 – 2006 membuat minat petani untuk bertanam lada menurun bahkan hilang sama sekali (Anonimous b, 2014). Kehadiran kelembagaan yang mendukung aktivitas agribisnis dapat meningkatkan daya tawar petani dan membantu mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi terkait dengan produktivitas, modal, pasar dan wawasan petani.
Salah satu alternatif solusi terhadap permasalahan di atas adalah penerapan Sistem Resi Gudang (SRG). Sistem Resi Gudang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan instrumen yang dibentuk dengan salah satu tujuan untuk memberdayakan petani, dimana komoditi yang dihasilkannya mampu memberikan nilai ekonomis dalam bentuk penjaminan, yang dapat dipergunakannya untuk memperoleh kredit dan bank dan lembaga keuangan non bank, dengan tingkat bunga yang rendah.Berdasarkan Permendag No. 08/M-DAG/PER/2/2013 tentang Perubahan Atas Permendag No. 37/M-DAG/PER/11/2011 lada merupakan salah satu dari sepuluh komoditas yang dapat diresigudangkan.Sistem resi gudang komoditas pertanian memiliki manfaat yaitu: memperpanjang masa penjualan hasil produksi petani, sebagai agunan bank, mewujudkan pasar fisik dan pasar berjangka yang lebih kompetitif, mengurangi peran pemerintah dalam stabilisasi harga komoditas, memberikan kepastian nilai minimum dari komoditas yang dijadikan agunan (Anonimous b, 2014)
Dukungan Kebijakan
Kemajuan usaha tani lada di Bangka Belitung dapat menjadi salah satu barometer kesejahteraan petani mengingat sejak dulu komoditas lada adalah komoditas dominan yang dan sebagian perkebunan lada merupakan perkebunan rakyat. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa prospek pengembangan perkebunan lada di masa mendatang cukup cerah. Ancaman terbesar dalam pengembangan perkebunan lada di Bangka Belitung adalah ketersediaan lahan. Pada saat ini kelapa sawit menadi komoditas primadona para petani termasuk di Bangka Belitung. Kebuthan lahan dalam kegiatan budidaya kelapa sawit lebih besar dibandingkan dengan lada. Dengan demikian kehadirannya menadi tantangan dalam pengembangan lada terutama pada aspek ketersedian lahan. Kegiatan lain yang berdampak terhadap ketersedian lahan untuk usaha tani lada adalah penambangan timah. Cukup banyak lahan-lahan subur yang selama ini ditanami lada telah berubah menjadi lahan marginal akibat aktivitas penambangan timah dan hal ini terus bertambah hingga deposit timah sudah dilahan subur tersebut tidak tersedia lagi.
Menurut Syam (2014) peran pemerintah dalam pengembangan lada dapat dilakukan dengan cara: 1. Peningkatan produktivitas, mutu hasil dan efisiensi usaha melalui penerapan teknologi tepat guna dan hasil guna; 2. Pengembangan sarana prasarana pengolahan hasil lada serta pengembanganproduk;3. Pengembangan informasi pasar serta didukung dengan pemberdayaan kelembagaan tani dan pengembangan kawasan industri masyarakat perkebunan lada. Senada dengan Ginting (2014) yang menjelaskan bahwa kebijakan mendukung strategi penawaran daya saing lada putih Indonesia melalui peningkatan produktivitas tanaman dengan mensosialisasikan dan pengawalan adopsi inovasi teknologi, menjamin ketersediaan dan kemudahan akses sarana produksi, mencegah alih fungsi alahan dan menambah luas lahan tanaman ladadan menjaga mutu. Terkait dengan off farm menurut Hermanto et al., (2010) bahwa peran pemerintah dalam pengembangan lada dapat berupa: kebijakan keseimbangan areal antar komoditas perkebunan melalui rencana tata ruang wilayah, kebijakan penyediaan permodalan, kebijakan alokasi anggaran khusus, kebijakan pengembangan industri hilir dan kebijakan pengembangan pemasaran.Dalam pelaksanaannya pemerintah dapat mengikutsertakan pihak ketiga yang selaras dalam memajukan lada Indonesia seperti perbankan, BUMD/BUMN, koperasi atau memberi beban tugas kepada instansi terkait juga dapat membentuk badan sesuai dengan peraturan tata kelola pemerintahan.
Kesimpulan
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan sentra produksi lada terbesar Indonesia dengan brand produk di pasar dunia dikenal dengan Muntok White Piper.Lada putih Bangka Belitung pernah menguasai pasar lada putih dunia namun saat ini mengalami kemerosotan akibat luas kebun dan produksi terus menurun. Pada sisi lain jika dilihat dari kebutuhannya, pengembangan lada masih menjanjikan secara ekonomi. Mempertahankan eksistensi lada putih Bangka Belitung tidak dapat hanya mengandalkan petani dengan mendorong perluasan lahan dan peningkatan produksi namun melibatkan semua elemen yang terkait terutama campur tangan pemerintah. Perbaikan produksi melalui adopsi teknologi spesifik lokasi, membentuk dan memberdayakan berbagai kelembagaan seperti kelompok tani, penyuluhan, pembiayaan, dan pemasaran. Selain itu dibutuhkan kebijakan pemerintah dalam melindungi areal pengembangan lada, membangun sarana dan prasarana yang mendukung dan adanya jaminan harga bagi petani.
Daftar Pustaka
Anantanyu. 2011. Kelembagaan Petani : Peran dan Strategi Pengembangan Kapasitasnya. Sepa Vol. 7 no. 2.Pp ; 102 - 109
Anonimous a. 2015.Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK) Perkebunan Lada. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM Bank Indonesia.
Anonimous b. 2014.Analisis Implementasi system Resi Gudang Komoditas Lada. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negergi. Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan.
Anonomous c. 2015.Pertanian Bioindustri Sistem Integrasi Lada dan Ternak.Laporan Kegiatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung.Tidak dipublikasikan.
Ann, Y. C. 2012. Determination of Nutrient Uptake characteristic of Black Pepper (Piper nigrum L.).Journal of Agricultural Science and Technology B 2.Pp : 1091 – 1099.
Daras, U., B. E. Tjahjana dan Herwan. 2012. Status Hara Tanaman Lada Bangka Belitung. Buletin Ristri vol. 3 (1).Pp ; 23 – 32.
Dinesh, R., K. Kandiannan, V. Srinivasan, S. Hamza and V. A. Parthasarathy. 2005. Tree Species Used as Supports Black Pepper (Piper nigrum L.) Cultivation
Dinesh, R., V. Srinivasan, S. Hamza, V. A. Parthasarathy, K. C. Aipe. 2010. Physico-chemical, biochemical and Microbical Properties of the Rhizospheric Soils of Tree Species Used as Supports for black Pepper Cultivation in the Humid Tropics.
Elizabeth, R. 2016. Keragaan Komoditas lada di Indonesia (Studi Kasus di Kabupaten Bangka).pdfhttps://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%281%29%20soca-roosganda-keragaan%20komoditas%20lada.pdf Didownload pada tanggal 10 Mei 2016.
Forum Komunikasi Profesor Riset Kementan. 2014. Penerapan Pertanian Bioindustri : Dasar Ilmiah dan Langkah-langkah yang diperlukan. Makalah disampaiakan pada Rapat TPK-BPTP di BBP2TP tanggal 19 Maret 2014.Forum Komunikasi Profesor Riset Kementerian Pertanian.
Ginting, K. H. 2014. Analisis Posisi Lada Putih Indonesia di Pasar Lada Putih Dunia.
Hariyono. 2014. Dukungan Badan Litbng Menuju Pertanian Industri. https://balitsereal.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/1mu13.pdf.Didownload pada tanggal 27 Mei 2014.
Hendriadi, A. 2013. Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Berbasis Inovasi. Makalah disampaikan pada Workshop Evaluasi dan Rencana Kegiatan Peningkatan Kinerja BPTP Tahun 2014. Bogor, 8 Januari 2014.
Herman, M., K. D. Sasmita dan D. Pranowo.2012. Pemanfaatan MIkroba rizosfer Untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Serapan Hara Pada Tanaman Lada. Buletin Ristri 3 (2) pp : 143 – 150
Hermanto, B. Sudjarmoko, Mariono, Bustamil,Fitriyadi, Helwandi, Yahya, Shinta R. 2010. Analisis Pengelolaan dan Arah Pengembangan Lada Putih Muntok (Muntok White Pepper) di Kabupaten Bangka Barat.Bappeda Bangka Barat. Laporan Kegiatan.
Heryanto, M. A dan D. Supyandi. 2012. Peran Lembaga Riset dalam Sistem Inovasi Frugal Sektor Pertanian : Pendekatan Analisis Berpikir system.
Warta KIML Vol. 10 No. 2 Tahun 2012, Pusat Penelitian Perkembangan Iptek, LIPI
Irawati, A. F. C., C. A. Wirasti, Herwan, Issukindarsyah dan M. T. Panggabean. 2009. Pengembangan Teknologi Budidaya Lada Ramah Lingkungan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.Makalah Seminar Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi.Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor.
IPC dan FAO. 2005. Pepper (Piper nigrum L.) Production Guide For Asia and The Pasific. International Pepper Community. Jakarta.
Manohara, D. dan R. Kasim.1996. Penyakit Busuk Pangkal Batang dan Pengendaliannya. Monograf Tanaman Lada. No. 1.Pp : 115 – 129.
Mustika, I. 1996. Penyakit Kuning Lada dan Upaya Pengendaliannya. Monograf Tanaman Lada. No. 1.Pp : 130 – 141.
Mustika, I. dan Manohara, D. 1996.Penyakit keriting dan Penyakit Tanaman Lada Lainnya.Monograf lada no. 1.Pp ; 142 – 149.
Nurasa, T. 2011. Analisis Kelayakan Finansial Lada Putih di Kabupaten Bangka. Diunduh Tanggal 12 Pebruari 2011
Nuryani, Y. dan R. Zaubin. 2009. Varietas Lada Prospektif Untuk Agribisnis Lada di Babel. Inovasi Mendukung Gerakan Kebangkitan Lada Putih. Badan Litbang Pertanian. Pp ; 58 – 66.
Laba, I. W. dan I. M. Trisawa. 2006. Pengelolaan Ekosistem Untuk Pengendalian Hama Lada.Jurnal Perspektif Volume 5 Nomor 2, pp : 86 – 97
Pranoto, Y.S. 2011.Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keuntungan Dan Daya Saing Lada Putih (Muntok White Pepper) di Provinsi Bangka Belitung.Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Limbong, W.M. dan P. Sitorus. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Bahan Kuliah Jurusan Ilmu Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Bogor IPB
Riyadi. 2012. Arahan dan Strategi Pengembangan Perkebunan Lada (Piper nigrum L.) di Kabupaten Belitung. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
Rosman, R., P. Wahid dan R. Zaubin. 1996. Aspek Pemeliharaan dan Budidaya Lada. Monograf Tanaman Lada. Mo. 1. Pp ; 67 – 75.
Sadanandan, A. K. 2006. Agronomy and Nutrition of Black Pepper.Black Pepper (Piper nigrum). Pp 163 – 208.
Sahara, D., Yusuf dan Suhardi. 2016. Peningkatan Petani Lada Melalui Perbaikan Sistem Usaha Tani. Diunduh pada tanggal 10 Mei 2016
Syakir, M. 2008. Ragam Teknologi Budidaya Lada.Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan ObatXX (1): 13-24.
Suprapto dan Surachman. 2008. Budidaya Lada Sehat dengan Pendekatan Ekologis. Makalah disampaikan pada Seminar Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian di Bogor 5 Mei 2008. 23 hal.
Suryana, A. 2007. Peranan Inovasi Teknologi Dalam Percepatan Pembangunan Pertanian. Prosiding Nasional Medan.
Suryanto, H dan Suroso. 2004. Teknik Budidaya Lada Integrasi Beternak Kambing. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan :. 147 – 152.
Soetopo, D. dan Suprapto.1996. Penggerek Batang Lada dan Cara Pengendaliannya. Monograf Tanaman Lada. No. 1.Pp ; 150 – 160.
Wahid, P. 1992. Peningkatan intensitas tanam melaluitanaman sela dan tanaman campuran. ProsidingTemu Usaha Pengembangan Hasil PenelitianTanaman Rempah dan Obat (2-3): 85-96.
Wahid, P. 2006. Management of Pepper in Indonesia.Black Pepper (Piper nigrum). Pp; 225 – 238.
Wahyudi, A. Dan S. Wulandari. 2009. Peningkatan Daya Saing Lada Melalui Penerapan Manajemen Teknologi Terpadu. Inovasi Mendukung Gerakan Kebangkitan Lada Putih. Badan Litbang Pertanian. Pp; 10 - 22.
Yudiyanto, A. Rizali, A. Munif, D. Setiadi and I. Qayim. 2014. Environmental Factors Affecting Productivity of Two Indonesian Varieties of Black Pepper (Piper nigrum L.). Agrivita Vol. 35 no. 3 pp : 278 – 284.
Zaubin, R. dan P. Yufdi.1996. Jenis Tegakan dan Produktivitas Tanaman Lada. Monograf Tanaman Lada. No. 1.Pp ; 61 – 75.
Zu, C., Z. Li, J. Yang, H. Yu, Y. Sun, H. Tang, R. Yost and H. Wu. 2014. Acid soil Is Associated With Reduced Yield, Root Growth and Nutrient Uptake in Black Pepper (Piper nigrum L.)